Abstrak
Artikel ini mengulas konsekuensi sistematis dari kehadiran polisi virtual terhadap aktivisme viral di media sosial. Fitur media sosial membuka kesempatan bagi warganet mewujudkan kontrol sosialnya terhadap perilaku menyimpang pejabat publik. Fungsinya beririsan dengan kontrol sosial yang dikenal dalam dunia jurnalistik namun bedanya, dalam aktivisme viral, kontrol termanifestasikan secara non-formal dalam bentuk olok-olok dan celaan yang dialamatkan kepada pejabat publik yang berperilaku menyimpang. Persoalannya, penegak hukum kerap menyalahpahami aktivisme viral sebagai tindakan pencemaran atau ujaran kebencian, yang pada gilirannya membuat para penunggahnya, sekalipun disebarkan untuk kepentingan publik, berisiko dikriminalisasi. Kehadiran polisi virtual yang diberi kewenangan berpatroli di media sosial, melakukan peneguran hingga memerintahkan penghapusan konten, yang diklaim dibentuk untuk meminimalisasi pemidanaan, justru semakin mengancam ekspresi kritis warganet. Ruang-ruang bagi aktivisme viral itu akan semakin menyempit dengan kehadiran patroli siber. Perluasan lingkup perlindungan pers, dengan memasukkan aktivisme viral menjadi sebuah aktivitas jurnalistik dalam undang-undang pers, jadi salah satu solusi alternatif untuk menghindari berulangnya kriminalisasi terhadap pegiat aktivisme viral.