Abstrak
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan jaminan serta perlindungan hukum terkait hak-hak warga negara Indonesia diantaranya adalah hak warga negara dalam mendapatkan, memiliki, serta menikmati hak milik atas tanah. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat terhadap tanah sering menimbulkan konflik atau sengketa, baik dalam perorangan maupun dalam suatu kelompok. Kasus sengketa tanah muncul karena adanya pengakuan hak milik maupun penguasaan atas tanah yang disengketakan dari masing-masing pihak yang terkait. Hal ini yang kemudian menjadikan timbulnya kepemilikan sertifikat tanah ganda. Selain itu masalah yang berkaitan mengenai pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar yang menjadi salah satu syarat dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah juga tidak boleh dianggap remeh dan harus dilakukan dengan seksama guna menjamin kepastian hukum dalam bidang penguasaan dan kepemilikan atas tanah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam analisis ini yaitu bagaimana kepastian hukum bagi pemegang sertifikat tanah ganda dan bagaimana penyelesaian sengketa sertifikat tanah ganda. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif. Sumber data yang digunakan yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam penelitian ini kemudian didapatkan kesimpulan yaitu dalam sengketa sertifikat tanah ganda dapat dilakukan upaya perlindungan hukum secara preventif dan represif. Dalam perlindungan hukum preventif masyarakat diberikan suatu kesempatan dalam mengajukan keberatan atau mengajukan pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuk yang definitif. Sedangkan dalam perlindungan hukum represif dilakukan upaya untuk menyelesaikan sengketa yang sudah terjadi. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa sertifikat tanah ganda ini diantaranya karena ketidaktahuan masyarakat, lemahnya aturan mengenai pendaftaran tanah, kelalaian, dan adanya mafia tanah. Penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non-litigasi. pada jalur non-litigasi, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.